The Woman in Cabin 10 - Ruth Ware
Ini tugas terbesar sepanjang sejarah karier jurnalisme Lo Blacklock: meliput pelayaran sebuah kapal pesiar mewah selama seminggu. Mengalami trauma setelah pencurian di rumahnya, berada di kapal pesiar menjadi sesuatu yang terasa aman bagi Lo. Tidak mungkin orang bisa masuk ke kapal yang berada di tengah samudra. Namun, bagaimana jika bahaya itu berasal dari dalam? Dari kabin tak berpenghuni di sebelah kamarnya? Bunyi ceburan tengah malam, gadis yang dia lihat tapi tidak seorang pun kenal, dan pembunuhan yang dia yakini terjadi tapi tidak seorang pun mau percaya. Mungkinkah dia hanya terlalu banyak mengonsumsi alkohol dan obat antidepresan hingga mulai mengkhayal?
-------------------------------
'Aku mendambakan kembalinya gadis itu. Citra gamblang sarat kekerasan berkelebat di benakku; aku, menjambak rambutnya sebagaimana dia menjambak rambutku, membenturkan tulang pipinya ke tepi logam tajam tempat tidur, memperhatikan darah yang mengucur sambil menguarkan bau tajam pekat dalam kabin pengap tertutup. Aku kembali teringat akan darah yang tercoreng di kaca beranda dan kini, hatiku yang kejam berharap kalau saja darah itu memang darahnya.
Aku benci kau.'
Lo - h. 335
Jadi sekitar seminggu yang lalu, Miss N mengajukan ide supaya minggu ini kita baca dan review buku bergenre misteri, horor, atau thriller, yang sebenernya gue pada awalnya gak minat-minat amat ngikutin ide dia. Secara The Incarnation-Susan Barker aja gak kelar-kelar gue bacanya, apakabar kalo gue mesti selingkuh sama buku genre seram-seram gitu.
Akukan atuutt kalo baca yang gitu-gitu~
(Kayaknya nanti Miss N bakal lempar gue kalo liat gif yang di atas.. ππ)
Setelah perdebatan alot menentukan topik dan kesediaan buku yang mau direview, N akhirnya memutuskan buku yang layak gue baca, "Udah lu baca aja tuh Woman in Cabin 10, buku gue kan masih di lu."
(Penekanan pada kata-kata 'MASIH DI LU'nya itu mungkin sebagai pengganti kalimat 'BURUAN KELARIN BACAIN BUKU-BUKU GUE TERUS KIRIM KE RUMAH')
Ya udahlah ya, demi kedamaian hati dan kehidupan gue, gue memutuskan untuk mengalah dan menimang-nimang buku itu sebagai reading list gue minggu ini.
Lo Blacklock, seorang jurnalis travel magazine merupakan seseorang yang menjalani hari-harinya dengan mengonsumsi obat antidepresan. Suatu pagi, saat Lo bangun dan memperhatikan kejanggalan yang ada di flatnya, dia sadar bahwa seseorang telah masuk dan merampok beberapa barang miliknya. Diserang panik dan kekesalan terhadap dirinya sendiri yang membiarkan dirinya mabuk malam sebelumnya, ia mencoba mencari bantuan polisi dan pergi ke tempat tinggal Judah, kekasihnya, untuk mencari rasa aman dari kepanikan yang menyerangnya.
Keberuntungan menghampiri Lo di tengah-tengah traumanya tersebut. Rowan, bossnya di Velocity harus mengambil cuti dan tidak bisa menghadiri undangan untuk meliput pelayaran sebuah kapal pesiar mewah milik Richard Bullmer, seorang bangsawan dan pengusaha. Perjalanan dengan Aurora, kapal pesiar tersebut, akan berlangsung satu minggu dengan tujuan akhir Bergen. Masih dibayangi dengan perampokan dan masalahnya dengan Judah, Lo harus mampu menjalin koneksi dengan 10 tamu undangan lainnya, Cole Lederer (fotografer), Ben Howard (jurnalis dan mantan kekasih Lo), Tina, Archer, Alexander Belhomme (jurnalis semua), Lars dan Chloe Jensen (investor), Owen White (Investor Britania), serta Richard dan Anne Bulmer (pemilik kapal). Seharusnya masih ada satu tamu lagi yang hadir, namun sayangnya yang bersangkutan berhalangan untuk hadir, sehingga satu kabin di sebelah kabin Lo kosong, kabin nomor 10.
Saat Lo terbangun di malam pertamanya di kapal pesiar, suara ceburan terdengar dari kabin sebelah, dan dia yakin seseorang telah jatuh ke kedalaman laut. Dia yakin dia tidak berhalusinasi, apalagi sebelum pesta berlangsung dia sempat mengetuk kabin 10 dan meminjam maskara dari penghuninya. Tapi, tidak ada orang yang percaya dengan ceritanya. Semua orang yakin kabin nomor 10 tidak berpenghuni. Apakah dirinya salah? Atau itu semua hanya halusinasi yang dibuat oleh serangan paniknya?
----------------------------------------
Dari awal baca sampai pertengahan buku, jujur aja gue gak suka sama si Lo Blacklock ini. Gue berasa liat si Rachell Watson di The Girl on the Train. Tipe-tipe wanita yang gak bisa menyelesaikan masalahnya dengan ringkas, dan keburu panik duluan. Gue greget sama cewek yang kayak gitu. Dan gue gak menyalahkan beberapa tokoh di dalam buku ini yang mempertanyakan kewarasannya. Kebiasaannya yang suka minum alkohol ampe mabok itu bikin orang pasti bertanya-tanya, "Ini orang halusinasi doank palingan."
'Please donk, mbak! Minum alkohol mah silahkan aja, tapi gak sampe mabok juga. Emangnya menyelesaikan masalah dan bisa tidur cuma pake alkohol doank? Coba ikut yoga sana, biar pikiran damai!!' πΏπΏ
--Angel yang sibuk ngomel-ngomelin si Mbak Lo dari awal ampe pertengahan cerita--
Segreget itu gue sama Lo ampe gue mau banting ni buku (cuma keburu inget ini bukan buku gue π). Untungnya, Ruth Ware gak membiarkan kekesalan gue memuncak. Di pertengahan cerita mulai ada pencerahan dari kasus yang dihadapi Lo. Siapa yang sebenarnya tercebur? Apakah ini pembunuhan atau kecelakaan saja? Seandainya ini pembunuhanan siapa pelakunya? Apa motif pembunuhan tersebut?
Ruth Ware mampu memberikan cerita yang menarik dan menguras emosi pembacanya. Bukan cerita detektif dengan kerumitan trik-trik yang dibuat oleh pelakunya, tapi karakter dari Lo Blacklock memberikan tekanan tersendiri saat membacanya. Melihat dan merasakan apa yang dialami Lo membuat pembaca semakin penasaran bagaimana penyelesaian kasus ini dan bagaimana Lo mampu menyembuhkan dirinya sendiri.
Jadi, kalo gue bakal ngasih nilai 4,8 ⭐ dari 5 ⭐buat karya Ruth Ware yang satu ini!
Selagi dia bertepuk tangan, Anne sepertinya menyadari tiba-tiba bahwa kamera menyorotnya. Saat matanya melirik lensa, aku melihat sesuatu di sana, meskipun aku tidak yakin apakah memang demikian atau aku semata-mata berkhayal. Aku merasa melihat ekspresi sedih, ekspresi seseorang yang terperangkap dan takut. Namun, dia kemudian tersenyum lebih lebar dan mengangkat dagu sehingga aku serta merta menyadari bahwa dia adalah perempuan yang tidak akan pernah menyerah, tidak akan pernah takluk, perempuan yang berani bertarung sampai titik darah penghabisan.
Lo - h. 457
PS. Endingnya waw! Begitu selesai baca gue pengen teriak, "Brengsek!" Brengsek, endingnya gak terduga sama sekali... Bikin senyum-senyum sendiri kaya liat notif chat dari gebetan yang biasanya bisa diliat dari jauh doank. ππ
Komentar
Posting Komentar